Headlines News :

Puisi-puisi [Riona]



November Rain
 
Hari ini hari ketiga di bulan November
Bulan yang seharusnya dapat membuatku bahagia
Karena bulan ini merupakan bulan kehadiranku
Kehadiranku di muka bumi ini
Tetapi apa yang kudapati dan kutemui
Hanyalah seonggok sisa-sisa dari pesta malam tadi

Bagai sebuah roman klasik karya Shakespeare
Yang bercerita tentang kisah cinta dua orang anak Adam
yang tak pernah dapat bersatu dalam pelukan asmara
yang malam ini ditayangkan dalam sebuah televisi swasta.

Hujan yang tercurah dari langit di bulan November
Membuat dingin malam ini
Sedingin hatiku yang telah membeku dan membatu
Bagai air yang telah mengeras menjadi es

Pencarianku tak pernah berakhir
Penantianku tak pernah berujung
Bagai sebuah roman sejarah karya Mochtar Lubis
“Jalan Tak Ada Ujung”

Cherry House. 03 Nov 03. 21.45 WIB 




 Riona lahir dan besar di Lampung. Seorang pecinta segala macam sastra dan segala macam seni. Bercita-cita menjadi seorang yang akan merubah dunia.

Puisi-puisi [Ayusia S. Kusuma]

Kepada Yang Terlarang

jika harus kupelajari cara-cara membunuh
setiap ejaan peristiwa yang lancang kubuat denganmu
maka aku menemu cara paling sederhana
yaitu menumbuhkan kebencian dan segala yang memuakkan tentangmu, sayang
setelahnya, mungkin akan kuhapuskan ingatan atau kukosongkan pikiran

mungkin saja sebagai pion kecil
telah lena kutangkap pelbagai isyarat dari tanda-tanda bahaya.
jika akhirnya aku terpedaya dan tak pandai menyembunyikan lelakon
paling tidak aku telah pandai mengutukmu
dari setiap sudut lipatan pikiran ketika setiap ingatan tentangmu muncul

keterlarangan ini hanya soal,
bagaimana menjadi berani dalam ketakutan yang mengada-ada,
bagaimana kewarasan hilang tanpa tahu cara mengembalikannya
terlanjur terlarungnya harga diri dan robeknya segala norma
saat realita terabaikan dan kehormatan menjadi tak berguna
bahkan mengalami angan-angan yang paling kelam dan nista untukmu

pada akhirnya
aku tak harus memilih
menjadi siapapun atau apapun padamu
sebab bukan aku yang akan kita hancurkan, melainkan engkau setan dan segala ilusi tentangmu!

Jum'at 07012011


Ada Yang Bersyukur

Ada yang bersyukur, dalam sederhana
Meski hadirnya tak hanya sederhana
Seperti tetes embun tiap pagi menyentuhi dedaunan
Atau hewanhewan kecil hidup dari sampah, beranakpinak di tanah
Lalu dengan cara tak mereka ketahui,tanah menjadi gembur
Bebijian tumbuh, kelak menjadi pohon kokoh dan berbuah,
Ada yang bersyukur

Burungburung asyik bercengkrama di atas pohon
Sekejap kemudian terbang demi mendengar tembakan berbunyi
Lalu merelakan pasangannya mati untuk lauk malam nanti,
Ada yang bersyukur

Di sungai kotor anakanak berenang dan tertawa tak peduli,
Para petani tiap subuh ke sawah dan puas, meski beras hanya cukup dimakan sendiri,
Ibuibu selalu menggendong anaknya ke pasar berjualan kacang,
Para buruh pulang larut demi uang lembur untuk beli sepatu anaknya,
Para alim terpekur sembahyang tiap malam dengan perut keroncongan,
Para mahasiswa berpuasa sebab uang dipakai berobat emak,
Para guru berpeluh mengayuh sepeda ketika mengajar di pedalaman,

Mereka yang sederhana, mereka yang bersyukur
Mereka yang bersyukur, mereka yang membuat sekelilingnya bersyukur
Mereka yang sederhana, hadirnya kencana
Lalu Tuhan tersenyum, bumi berputar,nafas mengalir,
Ada yang bersyukur

Malang, 11 sept 2012 


Jalan Terakhir

baik, aku menyerah
pada takdir yang menggariskan merah
pada darah

sudah, aku terima
pada susunan ayat yang mengalamatkan dosa pada neraka
dan menyanjung pahala dengan surga

segala yang tak kasatmata
masa depan yang tak terduga
atau masa lalu yang tak terlupa
kutitip pada yang Esa

baik, aku mengerti
sebab mimpi-mimpi bukan kurawat dengan ilusi
atau fantasi mustahil yang menjerat diri

kesadaran akan realita
lebih melahirkannya, nyata
selamat tinggal angkasa
aku lebih memilih berjalan laksana musafir pengelana

25 okt '10


Ayusia S. Kusuma adalah seorang dosen jurusan Hubungan Internasional di Univ. Muhammadiyah Malang. Seorang pecinta seni dan sastra sejak masih dibangku sekolah dasar.

Puisi-puisi [Fahrur Rozi Atma]

Nun

Nun, betapa kelemahanku tidak pernah sanggup
menandu cintamu, yang senyap
Lalu dalam ketidakberdayaan telah aku telentangkan
bulan sabit serta aku paku titik di atasnya

Dan. Oh, nun lihatlah lemahnya diriku
di sebelahnya, serupa joran yang kian lengkung

mengailmu



Sebuah Nama Di Tangkai Sajak

; Bundo Kanduang

Telah jauh rantau badan dari pangkuan
namun hatiku kian mukim ke jalanmu
bukit dada yang menyusuiku
lembah rahim yang menafasiku

Lepas pandang tak lagi selayang
namun sudah menerawang ke tikungan
yang telah menghantar aku sesat darimu

Lalu aku surutkan langkah
membalik arah ke tempat kau bertanam kenang
di ladang-ladang kala pagi
sampai rembang petang

untuk kepulanganku jelang malam
duhai, aku temui kerinduan merindang
pada halaman rumah yang murung
di bawahnya terserak buah nama-
namamu; Bundo

terlalu lalangkah aku darimu?

Oh, aku bersimpuh di pembaringanmu
mengunyah-kunyah bilangan jarak, untuk waktu
merapatkan pisah lewat tak berbilang
tangkai sajakku berbuah namamu



Sepisau Angin

Angin mendesaukan sepi
menjadi pisau
se-pisau-angin
melintang di leherku
sedang subuh telah pecah
oleh gaung kefakiran

Meminta syafa'atku pada suria
Usiamu masih belia! tegas penolakanya
Aku alihkan pada burung burung layang
sarangku masih lapar! tampik adalah jawabnya

Oh, pantaiku jauh, tempatku ke luas
ilalang ikut menari, hantarkan lentik kematian
di mataku: pantaskah aku menangis?
bila embun telah lebih dulu berjatuhan
membasahi tanah, tumbuhkan batubatu waktu
dipijakanku yang timpang

Perlahan lahan kian teriris urat tenggorakanku
sengau parau suaraku, berontak dari maklumat maut
bersebab lautku bukan di sini, dermaga tempat sampansampan logika
tersandar, untuk aku kayuh ke gelombang pasang
dimana aku bisa lepas dari tanya Mungkar-Nangkir

Keberadaanku di pegunungan
dengan se-pisau-angin meletakkan dingin
di apiku yang terakhir, tanpa siapa siapa
selain hati menjadi saksi

kematianku, berkabar ke tidur tidur mereka
lelap



Pijar Timur

 ; Afrilia Utami

Aku panggil kau timur yang jauh
dari mata, menggantung di angkasa
Dengan bahasa pagi
suara-suara yang meninggalkan pantai

Setelah beratus liris menggiris nadi
Ngilu mengucap namamu
Yang senantiasa bergelombang menerjang rindu
Yang aku tanam pada karang batu

sampai semua pergi membawa sepi simbol serta ramai angka-angka
berikut metafora yang berkelindan pulang
laut masih saja menaut langit sebagai paling
dari hal yang tak sampai

tak sampai, ah aku tinggalkan saja semua
lalu menuju goa-goa gunung untuk menyederhanakan huruf lantas jadi kata
semoga kau melambai

semoga, ya semoga, seperti doa
yang aku lafadz dalam kematian bahasa
dalam pandam, terendam angin
berulangkali mendiamkan semua. aku, mungkin juga kau



Rubaiyat Pagi

Dari ketinggian matahari
kita menyetubuhi bayang-bayang di ranjang waktu
Mushaf ke mushaf kehilangan cahaya
terkepung oleh bershaf-shaf hujan
yang turun dari mata
Dan di lembah Mungkar-Nangkir menghitung jarak
di puncak mana kita akan rubuh dalam rakaat terakhir
pada gentingnya temali tahiyat di antara dua mata tajam-
kata salam



Fahrur Rozi Atma. 2011-2012

Fahrur Rozi Atma:Penulis asal Pontianak ini pernah tergabung dalam Antologi Solidaritas Sastrawan Tiga rumpun Melayu [Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam], Antologi Untuk Gempa Sumbar [2009], Antologi Munakat Sesayat Doa dan Antologi Kado Untuk Indonesia. 

Puisi-puisi [Kelana]

Sendiri

Kesendirian ini terasa hampa
Tanpa sebuah noda ataupun warna
Bias-bias warna yang kucari
Tak kunjung tiba

Hari terus berganti tanpa sebuah binar
Malam terus berjalan tanpa suara
Keriduanku akan dirimu terus menghantui
Mengganggu malam-malamku
Menyeruak kedalam hari-hariku
Mengembara kedalam benakku

Otakku berkelana kealam imajinasi
Mengharap engkau ada disini
Membelaiku, memelukku
mencumbuku dengan ciumanmu yang hangat
kemudian kita mengembara kealam khayal
berdua, bersama-sama kita terbang ke nirwana

tetapi yang kutemui hanyalah hampa
kehampaan yang kosong
bagaikan sebuah sumur yang tak berdasar
hanyalah lorong yang gelap dan panjang

Kucoba tuk merangkai
Serpihan-serpihan yang ada di dalam benakku
Dan kucoba tuk membentuk seraut wajahmu
Agar semua rasa rinduku terobati

Kubang. “Valentine Day”. 14 Februari 2004.


Pagi Ini

Pagi ini mendung kembali menggayut di angkasa
Kelam dan tebal menutupi sang raja langit
Seperti sebuah mitos pewayangan
Mitos yang menceritakan tentang raksasa yang sedang melahap matahari

Alam yang seharusnya terang benderang oleh senyum sang raja langit
Tetapi sekarang tampak gelap dan gulita
Seperti sebuah rongga yang tak berdasar
Yang ada hanyalah kelam

Kehidupan bagai sehelai daun yang gugur
Tak tahu akan dibawa kemana oleh sang bayu
Kehidupan bagaikan berjalan diatas mata pisau yang tajam
Tanpa beralas kaki

Kadang apa yang terjadi tak sesuai dengan apa yang terencana
Sang daun yang gugur berharap akan jatuh disebuah istana yang indah
Tetapi sang angin meniupnya sehingga jatuh disebuah sungai yang kotor
Penuh dengan segala macam kotoran yang ada dimuka bumi

Kadang aku bertanya pada Tuhan, adilkah semua ini ?
Sepadankah semua ini ?, sesuaikah semua ini ?
Tetapi Tuhan tetap diam seperti orang bisu
Aku terus bertanya dan bertanya tanpa kenal lelah dan kenal waktu

Tetapi apa yang kudapatkan
Yang kutemui hanya suara angin yang mendesau
Bisu dan kosong tanpa sebuah jawaban yang kucari
Ataukah selama ini kita salah, bahwa sebenarnya Tuhan itu tidak pernah ada?

Cherry House. 17 Nov 03. 08.00 WIB


Kelana : Seorang pemuda yang lahir dan besar di pulau Jawa danm belum pernah meninggalkan pulau Jawa. Bercita-cita memiliki sebuah grup band yang lain daripada yang lain.

Puisi-puisi [Miranti]

Jalan Jenderal Sudirman

Merdeka!

Teriak bocah itu sembari menghormati lampu merah kuning hijau yang mengatur gerak kenderaan kami sembari ia nyanyikan lagu duka.

Sementara aku sibuk mengacak laci mobilku yang mewah dan berAC, sebab lupa ke mana kubuang recehan sisa beli shampo untuk anjing penjaga rumahku.

Di bangku sebelah, istriku sendwawa dan tertawa setelah melahap bulat burger  dan meneguk sebotol besar cocacola hingga bibirnya merah, ah, ia memancing gairah, ingatan kami selalu ranjang dan desah.

12 sep 2012


Cerita Anak Dalam


Rumah kami kebun yang luas, kami memeliki macam-macam binatang, setiap pagi burung-burung menyanyi riang, monyet-monyet dari batang-ke batang bergelantungan, sungai-sungai mengandung ragam ikan, ini syurga, setidaknya menedekati syurga, atau sedikit banyak bisalah disebut seperti syurga, sebab semua serba ada dan kami tak perlu membeli apa-apa, sebelum pabrik itu ada!

13 sep 2012


Kapal


Bisakah kau temukan tepi di dadaku?

14 sep 2012


Kamarku


Aku kentut dalam kamarku yang pengap, aku jadi mengerti, beginilah rasanya orang ketika mencium kentutku, aku pun mual terhadap diriku sendiri.

14 sep 2012


Sungai


Sungai itu di musim kemarau, air yang bening dan segar, mengalir deras ke dalam pabrik, di TV kami saksikan air dari tanah negeri kami di dalam botol kemasan, bebas bakteri dan kau harus membeli!

14 sep 2012



Miranti: Gadis imut yang saat ini masih duduk di kelas 2 SMA di salah satu sekolah di Pekanbaru, ingin serius menjadi penulis, terutama dibidang puisi, aktif menulis di mading sekolah dan di beberapa portal sastra internet, telah menjadi penggemar berat puisi puisi si Burung Merak sejak pertama kali mengenal puisi.



Puisi-puisi [Mahdi Amir]

Dalam Puisi

kita bertemu
aku menjadi kau
kau menjadi aku
kita lenyap dalam aksara

Indonesia 07/09/2012



Api Dan Kayu

lidahku api
bibirmu kayu
kita asap yang membumbung
dari tungku ibu

Indonesia 07/09/2012


Kekasih

malam datang
berdentang seperti jarum jam di dinding itu
pukul tujuh tiga puluh katanya
dan di luar hujan
di dalam rinduku membara

aku tak tahu
ini gigil atau entah
jalan mana yang kau tempuh menuju rumahku?

Indonesia 07/09/2012



 


Mahdi Amir: Lahir dan besar di Indonesia, bercita-cita hingga wafat akan tetap di Indonesia.
 

-

Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Media Seni dan Sastra Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger