Nun
Nun, betapa kelemahanku tidak pernah sanggup
menandu cintamu, yang senyap
Lalu dalam ketidakberdayaan telah aku telentangkan
bulan sabit serta aku paku titik di atasnya
Dan. Oh, nun lihatlah lemahnya diriku
di sebelahnya, serupa joran yang kian lengkung
mengailmu
Sebuah Nama Di Tangkai Sajak
;
Bundo Kanduang
Telah jauh rantau badan dari pangkuan
namun hatiku kian mukim ke jalanmu
bukit dada yang menyusuiku
lembah rahim yang menafasiku
Lepas pandang tak lagi selayang
namun sudah menerawang ke tikungan
yang telah menghantar aku sesat darimu
Lalu aku surutkan langkah
membalik arah ke tempat kau bertanam kenang
di ladang-ladang kala pagi
sampai rembang petang
untuk kepulanganku jelang malam
duhai, aku temui kerinduan merindang
pada halaman rumah yang murung
di bawahnya terserak buah nama-
namamu; Bundo
terlalu lalangkah aku darimu?
Oh, aku bersimpuh di pembaringanmu
mengunyah-kunyah bilangan jarak, untuk waktu
merapatkan pisah lewat tak berbilang
tangkai sajakku berbuah namamu
Sepisau Angin
Angin mendesaukan sepi
menjadi pisau
se-pisau-angin
melintang di leherku
sedang subuh telah pecah
oleh gaung kefakiran
Meminta syafa'atku pada suria
Usiamu masih belia! tegas penolakanya
Aku alihkan pada burung burung layang
sarangku masih lapar! tampik adalah jawabnya
Oh, pantaiku jauh, tempatku ke luas
ilalang ikut menari, hantarkan lentik kematian
di mataku: pantaskah aku menangis?
bila embun telah lebih dulu berjatuhan
membasahi tanah, tumbuhkan batubatu waktu
dipijakanku yang timpang
Perlahan lahan kian teriris urat tenggorakanku
sengau parau suaraku, berontak dari maklumat maut
bersebab lautku bukan di sini, dermaga tempat sampansampan logika
tersandar, untuk aku kayuh ke gelombang pasang
dimana aku bisa lepas dari tanya Mungkar-Nangkir
Keberadaanku di pegunungan
dengan se-pisau-angin meletakkan dingin
di apiku yang terakhir, tanpa siapa siapa
selain hati menjadi saksi
kematianku, berkabar ke tidur tidur mereka
lelap
Pijar Timur
; Afrilia Utami
Aku panggil kau timur yang jauh
dari mata, menggantung di angkasa
Dengan bahasa pagi
suara-suara yang meninggalkan pantai
Setelah beratus liris menggiris nadi
Ngilu mengucap namamu
Yang senantiasa bergelombang menerjang rindu
Yang aku tanam pada karang batu
sampai semua pergi membawa sepi simbol serta ramai angka-angka
berikut metafora yang berkelindan pulang
laut masih saja menaut langit sebagai paling
dari hal yang tak sampai
tak sampai, ah aku tinggalkan saja semua
lalu menuju goa-goa gunung untuk menyederhanakan huruf lantas jadi kata
semoga kau melambai
semoga, ya semoga, seperti doa
yang aku lafadz dalam kematian bahasa
dalam pandam, terendam angin
berulangkali mendiamkan semua. aku, mungkin juga kau
Rubaiyat Pagi
Dari ketinggian matahari
kita menyetubuhi bayang-bayang di ranjang waktu
Mushaf ke mushaf kehilangan cahaya
terkepung oleh bershaf-shaf hujan
yang turun dari mata
Dan di lembah Mungkar-Nangkir menghitung jarak
di puncak mana kita akan rubuh dalam rakaat terakhir
pada gentingnya temali tahiyat di antara dua mata tajam-
kata salam
Fahrur Rozi Atma. 2011-2012
Fahrur Rozi Atma:Penulis asal Pontianak ini
pernah tergabung dalam Antologi Solidaritas Sastrawan Tiga rumpun Melayu [Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam], Antologi Untuk Gempa Sumbar [2009], Antologi Munakat Sesayat Doa dan Antologi Kado Untuk Indonesia.