Headlines News :
Home » , , » Puisi-puisi [Fahrur Rozi Atma]

Puisi-puisi [Fahrur Rozi Atma]

Written By sastra on Wednesday, September 19, 2012 | 9:25:00 PM

Nun

Nun, betapa kelemahanku tidak pernah sanggup
menandu cintamu, yang senyap
Lalu dalam ketidakberdayaan telah aku telentangkan
bulan sabit serta aku paku titik di atasnya

Dan. Oh, nun lihatlah lemahnya diriku
di sebelahnya, serupa joran yang kian lengkung

mengailmu



Sebuah Nama Di Tangkai Sajak

; Bundo Kanduang

Telah jauh rantau badan dari pangkuan
namun hatiku kian mukim ke jalanmu
bukit dada yang menyusuiku
lembah rahim yang menafasiku

Lepas pandang tak lagi selayang
namun sudah menerawang ke tikungan
yang telah menghantar aku sesat darimu

Lalu aku surutkan langkah
membalik arah ke tempat kau bertanam kenang
di ladang-ladang kala pagi
sampai rembang petang

untuk kepulanganku jelang malam
duhai, aku temui kerinduan merindang
pada halaman rumah yang murung
di bawahnya terserak buah nama-
namamu; Bundo

terlalu lalangkah aku darimu?

Oh, aku bersimpuh di pembaringanmu
mengunyah-kunyah bilangan jarak, untuk waktu
merapatkan pisah lewat tak berbilang
tangkai sajakku berbuah namamu



Sepisau Angin

Angin mendesaukan sepi
menjadi pisau
se-pisau-angin
melintang di leherku
sedang subuh telah pecah
oleh gaung kefakiran

Meminta syafa'atku pada suria
Usiamu masih belia! tegas penolakanya
Aku alihkan pada burung burung layang
sarangku masih lapar! tampik adalah jawabnya

Oh, pantaiku jauh, tempatku ke luas
ilalang ikut menari, hantarkan lentik kematian
di mataku: pantaskah aku menangis?
bila embun telah lebih dulu berjatuhan
membasahi tanah, tumbuhkan batubatu waktu
dipijakanku yang timpang

Perlahan lahan kian teriris urat tenggorakanku
sengau parau suaraku, berontak dari maklumat maut
bersebab lautku bukan di sini, dermaga tempat sampansampan logika
tersandar, untuk aku kayuh ke gelombang pasang
dimana aku bisa lepas dari tanya Mungkar-Nangkir

Keberadaanku di pegunungan
dengan se-pisau-angin meletakkan dingin
di apiku yang terakhir, tanpa siapa siapa
selain hati menjadi saksi

kematianku, berkabar ke tidur tidur mereka
lelap



Pijar Timur

 ; Afrilia Utami

Aku panggil kau timur yang jauh
dari mata, menggantung di angkasa
Dengan bahasa pagi
suara-suara yang meninggalkan pantai

Setelah beratus liris menggiris nadi
Ngilu mengucap namamu
Yang senantiasa bergelombang menerjang rindu
Yang aku tanam pada karang batu

sampai semua pergi membawa sepi simbol serta ramai angka-angka
berikut metafora yang berkelindan pulang
laut masih saja menaut langit sebagai paling
dari hal yang tak sampai

tak sampai, ah aku tinggalkan saja semua
lalu menuju goa-goa gunung untuk menyederhanakan huruf lantas jadi kata
semoga kau melambai

semoga, ya semoga, seperti doa
yang aku lafadz dalam kematian bahasa
dalam pandam, terendam angin
berulangkali mendiamkan semua. aku, mungkin juga kau



Rubaiyat Pagi

Dari ketinggian matahari
kita menyetubuhi bayang-bayang di ranjang waktu
Mushaf ke mushaf kehilangan cahaya
terkepung oleh bershaf-shaf hujan
yang turun dari mata
Dan di lembah Mungkar-Nangkir menghitung jarak
di puncak mana kita akan rubuh dalam rakaat terakhir
pada gentingnya temali tahiyat di antara dua mata tajam-
kata salam



Fahrur Rozi Atma. 2011-2012

Fahrur Rozi Atma:Penulis asal Pontianak ini pernah tergabung dalam Antologi Solidaritas Sastrawan Tiga rumpun Melayu [Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam], Antologi Untuk Gempa Sumbar [2009], Antologi Munakat Sesayat Doa dan Antologi Kado Untuk Indonesia. 
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Media Seni dan Sastra Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger