Headlines News :
Home » , , » Aku, Nem* [Ayusia S. Kusuma]

Aku, Nem* [Ayusia S. Kusuma]

Written By sastra on Thursday, August 02, 2012 | 4:37:00 PM

Namaku Nem -baca seperti huruf e pada kata “apem”-. Ibuku selalu memanggilku begitu. “Nem, cepet ngamen!,”Nem cari makan!,” “Nem pijitin kakiku!”, aku selalu berlari jika ibu suruh, karena lama sedikit, ibu pasti menjambak rambutku yang merah dan kaku. Atau menampar mukaku yang dekil dan lusuh. Tubuhku kecil dan ringan, tapi aku kuat mencucikan pakaian atau celana jins ukuran dewasa milik tetangga, mengangkat dua ember hampir sebesar tubuhku berpuluh-puluh meter, atau mengangkut satu bagor penuh barang rongsokan.

Aku terlahir dengan mungil. Enam bulan dikandung ibu, aku mbrojol. Kata orang, aku bayi yang tak pernah diharapkan. Mengapa tidak? ibuku mengandung aku akibat ulah bejat lelaki. Ibuku yang lulusan SD, diperkosa dua orang pemuda mabuk yang nongkrong di jembatan sepi pinggir kampung. Kalau saja para lelaki itu menghormati ibu, kalau saja minuman beralkohol tidak dijual bebas, kalau saja ibu tidak menolak diantar paman, kalau saja nenek tidak menyuruh ibu mengantar kue, kalau saja..Ah, toh aku masih tetap hidup.

Sejak insiden itu, masa depan ibu terlampau muram. Keluarga dan tetangga hanya sesaat turut menangis dan bersimpati. Tapi karena malu akan aib dan juga tidak melek hukum, peristiwa itu –atau tepatnya pelaku-pelaku itu- begitu mudah dimaafkan. Tentu saja mereka tidak terkejar, karena melapor ke polisi setempat banyak tetekbengeknya. Tanya-tanya sebab musababnya, hingga ke cara berjalan dan cara berpakaian ibu seperti apa. Belum lagi minta uang operasional, uang rokok, atau uang jalan lah. Kami yang keluarga ndeso dan tidak mampu pun lambat laun menyerah dan berpasrah pada nasib. Toh juga akhirnya ibu hamil.

Sejak itu ibu selalu mengurung diri dikamar. Bukan hanya karena malu perut membuncit tidak punya suami, tapi juga sedih karena tak ada seorangpun teman-teman sekolahnya dulu, sekedar menjenguknya. Keluarga pun, satu persatu menghilang. Bukan menganggap ibu sebagai korban yang harus dilindungi, tapi memandang ibu sebagai aib. Kata mereka, ibulah yang tak bisa jaga aurat, yang tak becus berpakaian sehingga menggoda lelaki, yang tak bisa menempatkan diri sebagai perempuan baik-baik.

**

Akulah yang kena getahnya, seringkali ibu memukuli perutnya, sesekali ibu mencoba membunuh aku dengan obat peluruh, sesekali meminta tukang pijit memijit-mijit perutnya, meski selalu kesakitan. Tapi kuasa Tuhan, aku tetaplah lahir tanpa cacat, meski tubuhku mungil. Semakin besar, bertambah pulalah rasa benci ibu kepadaku. Tak pernah sekalipun aku disusuinya, badanku tak pernah gemuk dan sering sakit-sakitan. Tak pernah menangis karena lelah tak digubris, tak pernah diberi makan kecuali jika aku mulai makan apapun yang ada di sekitarku. Aku pun tumbuh menjadi anak yang kuat dan bebal. Meski mungil.

Umur sekitar empat tahun aku sudah bisa mengemis hanya untuk sekedar beli roti dan permen. Umur sekitar tujuh tahun aku bisa mengumpulkan receh yang bisa kubuat beli makanan untuk ibu dan aku. Tapi sekitar umur tujuh itu pulalah ibuku meninggal karena sakit muntah darah. Sejak saat itu aku tumbuh sendirian di jalan, karena nenek, paman dan bibiku sudah lama tak mau hidup bersama kami dan pindah keluar kota.

Kenapa aku lebih memilih hidup di jalan-jalan kota? karena banyak orang yang memberiku receh. Itulah alasan kanak-kanakku. Hal yang tidak aku dapatkan di desa. Pernah sesekali waktu pamong desa memberi ibuku uang dalam amplop, tapi jarang sekali. Padahal kami setiap hari harus makan. Akhirnya ibu pergi membawaku ke kota besar dan menjadi gelandangan disana.

**

Tapi sekarang aku tidak punya ibu. Berbekal botol airminum diisi kerikil yang menimbulkan bunyi-bunyian, aku mengamen di jalan. Semakin menginjak remaja, semakin aku tahu bahwa hidup di jalanan ini terlampau keras, terutama untuk seorang gadis. Teman laki-laki yang sebaya sering mencolek-colek dadaku atau pinggulku yang mulai membesar. Pertamakali rasanya aneh, karena aku tak pernah sebaliknya mencolek-colek mereka. Selanjutnya sering aku marah, karena kadang colekan itu terasa menyakitkan.

Sering waktu aku tidur di emperan toko bersama mereka, ada saja yang mendengus-dengus di muka dan telingaku sambil tangan kanannya masuk ke celana mereka. Kalau sudah begini, lebih baik aku menyingkir. Karena jika tidak, akulah yang akan jadi budak nafsu mereka. Seperti yang terjadi pada teman perempuanku, Sri.

Hampir semua pekerjaan dapat kulakukan. Mengamen, menyemir sepatu, menjual koran, mencuci kendaraan, menjadi pemulung barang-barang bekas, dan mengemis, sesekali juga terpaksa mencuri. Teman-temanku juga banyak yang pintar mencopet atau mencuri, tapi karena itulah kehadiran kami tidak diharapkan. Kami selalu diusir-usir, karena kumuh, bau, merusak pemandangan, karena berperilaku tidak sopan, atau karena mengganggu.

**

Hingga akhirnya, saat aku dan keenam temanku, namanya Sugeng, Kampret, Adi, Sisri, Anto, dan Wawan sedang duduk di seberang perempatan sambil menghitung receh hasil mengamen, datang dua orang laki-laki berpakaian rapi menghampiri kami. Salah satunya berjongkok di sebelahku. Wangi bau parfumnya, pasti beda dengan parfum murahan yang pernah kucuri dari pasar. Aku sempat tak berkedip menatap wajahnya yang segar.

Dengan ramah mereka mengajak ngobrol dan bertanya apakah kami mau ditampung dan dididik di rumah perkumpulan mereka. Mereka juga menjanjikan kami dapat makan sehari tiga kali, vitamin-vitamin, dan pelajaran bacatulis. Kami bersorak girang. Mendadak kami merasa nyaman dengan dua orang yang menyebut dirinya mahasiswa itu. Setelah memberi kami nasi bungkus lauk ayam, mereka pergi dan berjanji besok akan datang lagi kesini jam lima petang.

*besok petang*

Mereka menepati janji. Aku yang sudah mandi karena ingin sedikit wangi, mendekat. Mereka datang dengan mobil, dan menyuruh kami bersiap. Dengan membawa baju ala kadarnya, aku dan teman-teman masuk ke mobil yang membawa kami entah kemana. Saking nyamannya duduk di mobil yang empuk dan wangi ini, aku dan beberapa teman terlelap. Kami bangun setelah mobil ini berhenti dan sampai di tujuan.

“wah, guedhene rek omahe!”, sentil sugeng yang asli Surabaya itu setelah masuk ke dalam sekertariat milik mahasiswa-mahasiswa yang jadi relawan dari LSM khusus menangani anak jalanan ini.
“iyo je..eh ndhes!ono dolanane barang!”, timpal kampret setelah melihat beberapa puzzle dari kayu yang merangkai gambar dan huruf tergeletak di meja.

Aku hanya duduk di salah satu ruang dan mengamati dinding yang banyak gambar-gambar anak-anak yang muka dan pakaiannya seperti kami, kumal dan lusuh. Di rumah ini ternyata banyak juga anak-anak yang ikut kumpul disini. Ramai banget pokoknya, tidak hanya kami bertujuh.

Hari ini yang pasti kami semua senang, mas-mas dan mbak-mbak mahasiswa itu ramah-ramah dan menyuruh kami semua mandi, makan, dan istirahat. Karena besoknya, akan kedatangan tamu-tamu penting dan para donatur aktif yayasan. Ada beberapa perwakilan dari LSM, dan ada beberapa petugas dari PEMDA yang nanti juga ikut kumpul bersama kami.

*besok paginya*

Tentu saja teman-temanku itu belum bisa diam dan selalu ribut meskipun katanya harus mendengarkan pengarahan. Sugeng sibuk merokok sambil mengusili Adi yang pendiam dan duduk di sebelahnya. Kampret masih sibuk mainan puzzle hingga ribut dan berbunyi klothak-klothak. Sisri nangis karena gelisah tak betah duduk dan pengen cepet ngamen agar dapat duit. Diantara kami bertujuh, hanya aku nampaknya yang tekun menyimak si pemberi pengarahan. Bukan karena aku mudheng dengan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Tapi karena si mas yang segar wajahnya itu telah membuat dadaku berdebar-debar. Perasaan aneh, hangat, tapi lucu yang baru sekali ini kurasakan. Apalagi jika, entah disengaja atau tidak, matanya mengarah kepadaku. Makin keras debar-debar ini. Namanya mas Priambodo, sebutannya mas Dodo. Si mas Ketua Program yang sejak awal kenal dan menjemput kami di perempatan, aku hapal benar bau parfumnya.

**

Karena ada pembagian tempat, diantara kami bertujuh, hanya aku, Adi, Sugeng dan Wawan diberi kesempatan untuk setiap hari tinggal di sekertariat bernama “Rumah Teduh” dibawah “Yayasan Rumah Kita” ini. Setiap harinya kami hidup teratur, bangun pagi-pagi untuk olahraga, mandi dua kali sehari, makan tiga kali sehari, belajar membaca dan menulis, juga keterampilan-keterampilan lain seperti menjahit, menganyam, beternak, bengkel, dan bermain musik. Beberapa kali datang mahasiswa dan mahasiswi baru yang bercanda dengan kami, berdiskusi, dan mengajari kami banyak hal. Kami pun lambat laun berubah, dari lusuh, kumal, dan bau menjadi wangi, rapi, dan segar. Dan juga yang pasti bertambah pintar dan berwawasan luas.

Dua bulan kemudian

Mas Dodo mengajakku jalan-jalan pada suatu sore. Dia memang lebih banyak mengajariku tentang beragam keterampilan. Berkebun, menganyam, melukis, hingga bermain alat musik gitar. Aku merasa dia lebih dekat padaku daripada anak-anak yang lain. Satu sisi yang membuatku bangga, namun juga, aku merasa tidak enak dengan Adi, Sugeng dan Wawan. Karena mereka selalu manja dan meminta perhatian lebih pada mas Dodo.

Dia memboncengku dengan motornya menuju lahan pertanian milik yayasan, lalu ke kolam ikan dan peternakan ayam yang tidak jauh tempatnya. Sambil mulutnya tidak berhenti bercerita.

“Nem, sekarang kamu dan teman-temanmu punya akta lahir dan KTP. Sudah Mas urus dengan teman di kelurahan dan kecamatan. Dan sekarang namamu menjadi Sarinem. Aku menambahkan Sari di depan namamu karena kamu seperti sari bunga yang tertutup kelopak. Kamu manis dan indah, tidak pantas hidup di jalan, kamu harus belajar, sekolah, menjadi perempuan yang berguna, dan hidup di pot yang juga indah”, kata mas Dodo dengan penuh perhatian. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan.

“Kamu pernah punya keinginan atau cita-cita?”, tanya mas Dodo menatapku waktu kami mampir beli minum di warung.

“Iya mas, saya ingin jadi dokter, karena dulu waktu ibu saya sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, saya tak tahu musti ngapain. Saya juga ingin menjadi hakim perempuan mas, dan akan menghukum para pemerkosa seberat-beratnya, kalau perlu disunat habis burungnya yang semena-mena”, ujarku bersungut sungut dan disambut ledakan tawa mas Dodo.

“Haha! yah mungkin perlu Nem, tapi kamu juga menghilangkan hak laki-laki itu untuk misalnya nanti bertaubat, dengan masih memiliki anatomi tubuh yang sempurna, kan? Balas dendam hanya akan menciptakan lingkaran setan yang tidak ada habisnya Nem. Tapi kamu mempunyai cita-cita yang mulia, kamu harus mewujudkan itu suatu hari nanti ya?”, tangannya merengkuh pundakku.

Aku memang sudah banyak bercerita tentang masa laluku yang kelam dengan seorang ibu yang tak pernah mencintaiku. Masa lalu yang menjadikan aku seseorang yang tertutup, karena biasa diindahkan kehadirannya. Dengan mengalami berbagai kekerasan fisik maupun batin. Tapi itu dulu. Sekarang aku bisa tersenyum, tertawa, dan bercerita banyak dengan seseorang yang kupercaya, kusayang, dan kurasa juga menyayangi diriku, mas Dodo.

Dalam hati aku terus memuji dia. Sosok yang pertamakali kurasakan kasih sayangnya kepadaku. Perhatian yang tak pernah aku dapatkan dari siapapun. Malam nya, dia mengajakku berkeliling kota dan melihat suasana malam yang indah bertabur lampu. Aku sangat senang hingga berdebar-debar. Perasaan yang sama kurasakan seperti sejak pertama kali memandang matanya.

Saat kami hanya berdua di alun-alun kota, kubiarkan tangan mas Dodo memeluk pinggangku. Bahkan aku sempat melambung saat dia berkata kalau aku memiliki muka yang manis. Kami mampir beli sate kambing, beli kacang rebus, melihat pentas dangdut, dan akhirnya mampir ke motel. Kata mas Dodo, dia ingin satu malam saja menyepi dari hingarbingar sekretariat dan menjauh dari lolongan serangkaian tugas dan agenda yang meminta tenggat. Dan yang pasti katanya, dia hanya ingin berduaan saja denganku malam ini, bercerita tentang apa saja.

Dan cerita itu tidak hanya sampai melalui bahasa kata, tapi juga melalui bahasa tubuh, maka malam itu pulalah mas Dodo membuai sukmaku hingga melayang tinggi. Perasaan takut dan jijik yang kurasakan saat dulu teman lelaki mencolek-colek tubuhku, tidak kurasakan bersamanya. Malam itu sebuah peristiwa besar dalam seluruh pengalaman hidupku, terangkum dan terbuka lebar untuk dia selami, seluruhnya, tanpa ditutup-tutupi. Meminta sentuhan-sentuhan untuk saling mengeksplorasi. Menyisakan kehausan akan bentuk kasih sayang yang penuh dan larut, yang terbahasakan dengan tubuh dan hati. Hingga pagipun menjelang.

Lima minggu berlalu

Peristiwa malam indah dengan mas Dodo terkunci rapat dalam benakku, Selain karena ingin menikmatinya sendiri, aku juga bingung harus bercerita pada siapa? Terlebih, mas Dodo semakin lama kurasakan semakin menghindariku. Dia jadi jarang kumpul bersama kami dan seringnya pergi keluar kota mengurus inilah, itulah..

Aku merasa diabaikan karena rindu ini tak pernah terbalas. Aku jadi rindu saat-saat mesra dulu, tapi aku merasa segan untuk meminta mas Dodo tinggal sebentar. Aku takut dia tidak menyisakan waktunya untukku. Tak apalah, karena aku juga disibukkan dengan mengajar bacatulis di kelas adik-adik yang lebih kecil. Menurut para pengajar, aku cepat tanggap dan cerdas, makanya kadang aku dijadikan asisten mereka, meski baru mengajar mengeja huruf. Mas Dodopun benar-benar menghilang. Kata salah satu temannya, dia sudah lulus kuliah dan pindah mengurusi cabang di luar Jawa.

Namun, aku hamil saat sekertariat sedang sibuk mengadakan ujian setara SD. Keadaan yang tak pernah kutahu kenapa, bagaimana, dan apa?yang kurasakan hanya, aku sering marah atau menangis tanpa sebab. Dan sudah dua bulan tak keluar darah haid. Perutku lama-lama kurasakan makin gemuk meski aku susah makan. Bingung, aku tanya mbak Heni, pengajar anak-anak yang paling ramah padaku di sekertariat. Dia terkejut bukan kepalang, setelah meminta air pipisku dalam ceruk yang katanya untuk mengetes kesehatanku.

**

Besoknya ada berbagai rapat dalam pintu tertutup. Aku didekati seorang psikolog yang berhasil membuatku bercerita sampai menangis, setelah mas Dodo. Namanya Bu Nina, orangnya lembut dan hangat, jika ditilik dari usianya, mungkin seusia ibuku jika ibu masih hidup. Beliau selalu memelukku dan berkata hal-hal yang manis padaku.

“Sayang, tabah ya nak. Fase menjadi ibu, pasti akan dialami seorang perempuan yang mempunyai rahim di tubuhnya. Itu lah sebenar-benar kodrat kita, tapi menjadi ibu juga merupakan pilihan setiap perempuan yang memiliki hak atas tubuhnya. Anak mengerti? Bahwa anak mempunyai hak untuk memilih?”, ujarnya dengan memegang tanganku yang mungil.

“Iya bu, saya mengerti. Dan saya akan memilih menjadi ibu, meskipun tanpa suami”, ujarku yakin.

Aku memang sakit hati pada mas Dodo, bukan karena aku ingin dia nikahi. Tapi karena telah dia tinggalkan, disaat aku butuh satu-satunya orang yang kusayang dan kupercaya saat ini. Bagaimanapun, bayang-bayang ketidaksiapan menjadi ibu yang dulu membuat ibuku tak pernah mencintai aku, selalu terekam dalam benak dan meneror malam-malamku dengan mimpi buruk.

Aku tidak ingin menjadi ibu yang seperti itu!! Teriakku dalam hati. Aku ingin mencintai jabang bayi ini, darah dagingku sendiri. Yang adalah juga anak dari seorang lelaki yang aku kenal dan aku cintai. Aku yakin aku sanggup menyayangi dan merawatnya, karena aku tahu rasanya menjadi anak yang terbuang dan tak disayang..


Dua bulan kemudian

Setelah beberapa kaunseling diadakan untuk membuatku merasa baik dan nyaman, ada petugas dinas sosial yang menjemput dan memindahkanku ke panti untuk lebih menunjang hidupku beserta perawatan atas kehamilanku. Setelah mengikuti acara perpisahan ala kadarnya, akupun berangkat meninggalkan teman-teman yang pernah hidup dan berdinamika denganku. Ada rasa sedih meninggalkan mereka yang sudah bertahun-tahun mengalami susah payah denganku bersama-sama. Tapi, mungkin jalan hidup kami memang berbeda.

Sekarang agak lega rasanya, karena banyak yang membantu meski aku harus beradaptasi cukup lama di panti. Mas Dodo pun sudah berangsur-angsur kulupakan. Biarlah, aku yakin suatu hari dia akan bertaubat, seperti pendapatnya dulu tentang seorang pemerkosa. Yang setelah menyesali perbuatannya, akan berharap tak ada balas dendam si korban untuknya. Laki-laki pengecut! Hilang sudah rasa hormatku padanya, hanya perasaan sayang yang masih sulit aku musnahkan semua.

Yang terpenting sekarang, Nem ini -dengan tambahan nama Sari atau tidak di depannya-, tetaplah sebuah putik yang akan menjelma bunga. Bukan setangkai bunga yang ada di pikiran atau harapan mas Dodo, sebagaimana bunga-bunga yang kata mereka akan layu setelah sarinya habis dihisap kumbang, dan hidup dalam pot yang indah? Bukan! Aku adalah perempuan yang kuat dan mempunyai mimpi maupun harapan-harapanku sendiri. Meski jalan hidupku susah dan terjal, semua akan aku hadapi dengan tegar. Aku, Nem, bukan setangkai bunga. Namun, percikan bunga api.


*nama hanya rekaan__2007

*Untuk perempuan kaum miskin kota, berjuang lepas dari kemiskinan adalah harapan demi keniscayaan.

Istilah dalam bahasa Jawa

Bagor : Sejenis karung dari bahan goni
Mbrojol : Keluar dengan tidak sengaja, tanpa disangka
Melek : Mata yang terbuka
Tetek-bengek : Semua hal atau permasalahan
Ndeso :(adjektif) Berhubungan dengan desa terpencil.
“wah, guedhene rek omahe!” : wah, besarnya rumahnya!
“iyo je, eh ndes ono dolanane barang!”: iya, eh ndes (sebutan) ada mainannya pula!
Klothak-klothak : Suara benda terguncang-guncang. Biasanya terbuat dari kayu.
Mudheng : Paham, mengerti.


Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Media Seni dan Sastra Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger