Namaku Nem -baca seperti huruf e pada kata “apem”-. Ibuku selalu
memanggilku begitu. “Nem, cepet ngamen!,”Nem cari makan!,” “Nem pijitin
kakiku!”, aku selalu berlari jika ibu suruh, karena lama sedikit, ibu
pasti menjambak rambutku yang merah dan kaku. Atau menampar mukaku yang
dekil dan lusuh. Tubuhku kecil dan ringan, tapi aku kuat mencucikan
pakaian atau celana jins ukuran dewasa milik tetangga, mengangkat dua
ember hampir sebesar tubuhku berpuluh-puluh meter, atau mengangkut satu
bagor penuh barang rongsokan.
Aku terlahir dengan mungil. Enam
bulan dikandung ibu, aku mbrojol. Kata orang, aku bayi yang tak pernah
diharapkan. Mengapa tidak? ibuku mengandung aku akibat ulah bejat
lelaki. Ibuku yang lulusan SD, diperkosa dua orang pemuda mabuk yang
nongkrong di jembatan sepi pinggir kampung. Kalau saja para lelaki itu
menghormati ibu, kalau saja minuman beralkohol tidak dijual bebas, kalau
saja ibu tidak menolak diantar paman, kalau saja nenek tidak menyuruh
ibu mengantar kue, kalau saja..Ah, toh aku masih tetap hidup.
Sejak
insiden itu, masa depan ibu terlampau muram. Keluarga dan tetangga
hanya sesaat turut menangis dan bersimpati. Tapi karena malu akan aib
dan juga tidak melek hukum, peristiwa itu –atau tepatnya pelaku-pelaku
itu- begitu mudah dimaafkan. Tentu saja mereka tidak terkejar, karena
melapor ke polisi setempat banyak tetekbengeknya. Tanya-tanya sebab
musababnya, hingga ke cara berjalan dan cara berpakaian ibu seperti apa.
Belum lagi minta uang operasional, uang rokok, atau uang jalan lah.
Kami yang keluarga ndeso dan tidak mampu pun lambat laun menyerah dan
berpasrah pada nasib. Toh juga akhirnya ibu hamil.
Sejak itu ibu
selalu mengurung diri dikamar. Bukan hanya karena malu perut membuncit
tidak punya suami, tapi juga sedih karena tak ada seorangpun teman-teman
sekolahnya dulu, sekedar menjenguknya. Keluarga pun, satu persatu
menghilang. Bukan menganggap ibu sebagai korban yang harus dilindungi,
tapi memandang ibu sebagai aib. Kata mereka, ibulah yang tak bisa jaga
aurat, yang tak becus berpakaian sehingga menggoda lelaki, yang tak bisa
menempatkan diri sebagai perempuan baik-baik.
**
Akulah
yang kena getahnya, seringkali ibu memukuli perutnya, sesekali ibu
mencoba membunuh aku dengan obat peluruh, sesekali meminta tukang pijit
memijit-mijit perutnya, meski selalu kesakitan. Tapi kuasa Tuhan, aku
tetaplah lahir tanpa cacat, meski tubuhku mungil. Semakin besar,
bertambah pulalah rasa benci ibu kepadaku. Tak pernah sekalipun aku
disusuinya, badanku tak pernah gemuk dan sering sakit-sakitan. Tak
pernah menangis karena lelah tak digubris, tak pernah diberi makan
kecuali jika aku mulai makan apapun yang ada di sekitarku. Aku pun
tumbuh menjadi anak yang kuat dan bebal. Meski mungil.
Umur
sekitar empat tahun aku sudah bisa mengemis hanya untuk sekedar beli
roti dan permen. Umur sekitar tujuh tahun aku bisa mengumpulkan receh
yang bisa kubuat beli makanan untuk ibu dan aku. Tapi sekitar umur tujuh
itu pulalah ibuku meninggal karena sakit muntah darah. Sejak saat itu
aku tumbuh sendirian di jalan, karena nenek, paman dan bibiku sudah lama
tak mau hidup bersama kami dan pindah keluar kota.
Kenapa aku
lebih memilih hidup di jalan-jalan kota? karena banyak orang yang
memberiku receh. Itulah alasan kanak-kanakku. Hal yang tidak aku
dapatkan di desa. Pernah sesekali waktu pamong desa memberi ibuku uang
dalam amplop, tapi jarang sekali. Padahal kami setiap hari harus makan.
Akhirnya ibu pergi membawaku ke kota besar dan menjadi gelandangan
disana.
**
Tapi sekarang aku tidak punya ibu. Berbekal
botol airminum diisi kerikil yang menimbulkan bunyi-bunyian, aku
mengamen di jalan. Semakin menginjak remaja, semakin aku tahu bahwa
hidup di jalanan ini terlampau keras, terutama untuk seorang gadis.
Teman laki-laki yang sebaya sering mencolek-colek dadaku atau pinggulku
yang mulai membesar. Pertamakali rasanya aneh, karena aku tak pernah
sebaliknya mencolek-colek mereka. Selanjutnya sering aku marah, karena
kadang colekan itu terasa menyakitkan.
Sering waktu aku tidur
di emperan toko bersama mereka, ada saja yang mendengus-dengus di muka
dan telingaku sambil tangan kanannya masuk ke celana mereka. Kalau sudah
begini, lebih baik aku menyingkir. Karena jika tidak, akulah yang akan
jadi budak nafsu mereka. Seperti yang terjadi pada teman perempuanku,
Sri.
Hampir semua pekerjaan dapat kulakukan. Mengamen, menyemir
sepatu, menjual koran, mencuci kendaraan, menjadi pemulung barang-barang
bekas, dan mengemis, sesekali juga terpaksa mencuri. Teman-temanku juga
banyak yang pintar mencopet atau mencuri, tapi karena itulah kehadiran
kami tidak diharapkan. Kami selalu diusir-usir, karena kumuh, bau,
merusak pemandangan, karena berperilaku tidak sopan, atau karena
mengganggu.
**
Hingga akhirnya, saat aku dan keenam
temanku, namanya Sugeng, Kampret, Adi, Sisri, Anto, dan Wawan sedang
duduk di seberang perempatan sambil menghitung receh hasil mengamen,
datang dua orang laki-laki berpakaian rapi menghampiri kami. Salah
satunya berjongkok di sebelahku. Wangi bau parfumnya, pasti beda dengan
parfum murahan yang pernah kucuri dari pasar. Aku sempat tak berkedip
menatap wajahnya yang segar.
Dengan ramah mereka mengajak
ngobrol dan bertanya apakah kami mau ditampung dan dididik di rumah
perkumpulan mereka. Mereka juga menjanjikan kami dapat makan sehari tiga
kali, vitamin-vitamin, dan pelajaran bacatulis. Kami bersorak girang.
Mendadak kami merasa nyaman dengan dua orang yang menyebut dirinya
mahasiswa itu. Setelah memberi kami nasi bungkus lauk ayam, mereka pergi
dan berjanji besok akan datang lagi kesini jam lima petang.
*besok petang*
Mereka
menepati janji. Aku yang sudah mandi karena ingin sedikit wangi,
mendekat. Mereka datang dengan mobil, dan menyuruh kami bersiap. Dengan
membawa baju ala kadarnya, aku dan teman-teman masuk ke mobil yang
membawa kami entah kemana. Saking nyamannya duduk di mobil yang empuk
dan wangi ini, aku dan beberapa teman terlelap. Kami bangun setelah
mobil ini berhenti dan sampai di tujuan.
“wah, guedhene rek
omahe!”, sentil sugeng yang asli Surabaya itu setelah masuk ke dalam
sekertariat milik mahasiswa-mahasiswa yang jadi relawan dari LSM khusus
menangani anak jalanan ini.
“iyo je..eh ndhes!ono dolanane barang!”,
timpal kampret setelah melihat beberapa puzzle dari kayu yang
merangkai gambar dan huruf tergeletak di meja.
Aku hanya duduk
di salah satu ruang dan mengamati dinding yang banyak gambar-gambar
anak-anak yang muka dan pakaiannya seperti kami, kumal dan lusuh. Di
rumah ini ternyata banyak juga anak-anak yang ikut kumpul disini. Ramai
banget pokoknya, tidak hanya kami bertujuh.
Hari ini yang pasti
kami semua senang, mas-mas dan mbak-mbak mahasiswa itu ramah-ramah dan
menyuruh kami semua mandi, makan, dan istirahat. Karena besoknya, akan
kedatangan tamu-tamu penting dan para donatur aktif yayasan. Ada
beberapa perwakilan dari LSM, dan ada beberapa petugas dari PEMDA yang
nanti juga ikut kumpul bersama kami.
*besok paginya*
Tentu
saja teman-temanku itu belum bisa diam dan selalu ribut meskipun
katanya harus mendengarkan pengarahan. Sugeng sibuk merokok sambil
mengusili Adi yang pendiam dan duduk di sebelahnya. Kampret masih sibuk
mainan puzzle hingga ribut dan berbunyi klothak-klothak. Sisri nangis
karena gelisah tak betah duduk dan pengen cepet ngamen agar dapat duit.
Diantara kami bertujuh, hanya aku nampaknya yang tekun menyimak si
pemberi pengarahan. Bukan karena aku mudheng dengan kalimat-kalimat yang
diucapkannya. Tapi karena si mas yang segar wajahnya itu telah membuat
dadaku berdebar-debar. Perasaan aneh, hangat, tapi lucu yang baru sekali
ini kurasakan. Apalagi jika, entah disengaja atau tidak, matanya
mengarah kepadaku. Makin keras debar-debar ini. Namanya mas Priambodo,
sebutannya mas Dodo. Si mas Ketua Program yang sejak awal kenal dan
menjemput kami di perempatan, aku hapal benar bau parfumnya.
**
Karena
ada pembagian tempat, diantara kami bertujuh, hanya aku, Adi, Sugeng
dan Wawan diberi kesempatan untuk setiap hari tinggal di sekertariat
bernama “Rumah Teduh” dibawah “Yayasan Rumah Kita” ini. Setiap harinya
kami hidup teratur, bangun pagi-pagi untuk olahraga, mandi dua kali
sehari, makan tiga kali sehari, belajar membaca dan menulis, juga
keterampilan-keterampilan lain seperti menjahit, menganyam, beternak,
bengkel, dan bermain musik. Beberapa kali datang mahasiswa dan mahasiswi
baru yang bercanda dengan kami, berdiskusi, dan mengajari kami banyak
hal. Kami pun lambat laun berubah, dari lusuh, kumal, dan bau menjadi
wangi, rapi, dan segar. Dan juga yang pasti bertambah pintar dan
berwawasan luas.
Dua bulan kemudian
Mas Dodo mengajakku
jalan-jalan pada suatu sore. Dia memang lebih banyak mengajariku tentang
beragam keterampilan. Berkebun, menganyam, melukis, hingga bermain alat
musik gitar. Aku merasa dia lebih dekat padaku daripada anak-anak yang
lain. Satu sisi yang membuatku bangga, namun juga, aku merasa tidak enak
dengan Adi, Sugeng dan Wawan. Karena mereka selalu manja dan meminta
perhatian lebih pada mas Dodo.
Dia memboncengku dengan motornya
menuju lahan pertanian milik yayasan, lalu ke kolam ikan dan peternakan
ayam yang tidak jauh tempatnya. Sambil mulutnya tidak berhenti
bercerita.
“Nem, sekarang kamu dan teman-temanmu punya akta
lahir dan KTP. Sudah Mas urus dengan teman di kelurahan dan kecamatan.
Dan sekarang namamu menjadi Sarinem. Aku menambahkan Sari di depan
namamu karena kamu seperti sari bunga yang tertutup kelopak. Kamu manis
dan indah, tidak pantas hidup di jalan, kamu harus belajar, sekolah,
menjadi perempuan yang berguna, dan hidup di pot yang juga indah”, kata
mas Dodo dengan penuh perhatian. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan.
“Kamu pernah punya keinginan atau cita-cita?”, tanya mas Dodo menatapku waktu kami mampir beli minum di warung.
“Iya
mas, saya ingin jadi dokter, karena dulu waktu ibu saya sakit-sakitan
dan akhirnya meninggal, saya tak tahu musti ngapain. Saya juga ingin
menjadi hakim perempuan mas, dan akan menghukum para pemerkosa
seberat-beratnya, kalau perlu disunat habis burungnya yang semena-mena”,
ujarku bersungut sungut dan disambut ledakan tawa mas Dodo.
“Haha!
yah mungkin perlu Nem, tapi kamu juga menghilangkan hak laki-laki itu
untuk misalnya nanti bertaubat, dengan masih memiliki anatomi tubuh yang
sempurna, kan? Balas dendam hanya akan menciptakan lingkaran setan yang
tidak ada habisnya Nem. Tapi kamu mempunyai cita-cita yang mulia, kamu
harus mewujudkan itu suatu hari nanti ya?”, tangannya merengkuh
pundakku.
Aku memang sudah banyak bercerita tentang masa laluku
yang kelam dengan seorang ibu yang tak pernah mencintaiku. Masa lalu
yang menjadikan aku seseorang yang tertutup, karena biasa diindahkan
kehadirannya. Dengan mengalami berbagai kekerasan fisik maupun batin.
Tapi itu dulu. Sekarang aku bisa tersenyum, tertawa, dan bercerita
banyak dengan seseorang yang kupercaya, kusayang, dan kurasa juga
menyayangi diriku, mas Dodo.
Dalam hati aku terus memuji dia.
Sosok yang pertamakali kurasakan kasih sayangnya kepadaku. Perhatian
yang tak pernah aku dapatkan dari siapapun. Malam nya, dia mengajakku
berkeliling kota dan melihat suasana malam yang indah bertabur lampu.
Aku sangat senang hingga berdebar-debar. Perasaan yang sama kurasakan
seperti sejak pertama kali memandang matanya.
Saat kami hanya
berdua di alun-alun kota, kubiarkan tangan mas Dodo memeluk pinggangku.
Bahkan aku sempat melambung saat dia berkata kalau aku memiliki muka
yang manis. Kami mampir beli sate kambing, beli kacang rebus, melihat
pentas dangdut, dan akhirnya mampir ke motel. Kata mas Dodo, dia ingin
satu malam saja menyepi dari hingarbingar sekretariat dan menjauh dari
lolongan serangkaian tugas dan agenda yang meminta tenggat. Dan yang
pasti katanya, dia hanya ingin berduaan saja denganku malam ini,
bercerita tentang apa saja.
Dan cerita itu tidak hanya sampai
melalui bahasa kata, tapi juga melalui bahasa tubuh, maka malam itu
pulalah mas Dodo membuai sukmaku hingga melayang tinggi. Perasaan takut
dan jijik yang kurasakan saat dulu teman lelaki mencolek-colek tubuhku,
tidak kurasakan bersamanya. Malam itu sebuah peristiwa besar dalam
seluruh pengalaman hidupku, terangkum dan terbuka lebar untuk dia
selami, seluruhnya, tanpa ditutup-tutupi. Meminta sentuhan-sentuhan
untuk saling mengeksplorasi. Menyisakan kehausan akan bentuk kasih
sayang yang penuh dan larut, yang terbahasakan dengan tubuh dan hati.
Hingga pagipun menjelang.
Lima minggu berlalu
Peristiwa
malam indah dengan mas Dodo terkunci rapat dalam benakku, Selain karena
ingin menikmatinya sendiri, aku juga bingung harus bercerita pada siapa?
Terlebih, mas Dodo semakin lama kurasakan semakin menghindariku. Dia
jadi jarang kumpul bersama kami dan seringnya pergi keluar kota mengurus
inilah, itulah..
Aku merasa diabaikan karena rindu ini tak
pernah terbalas. Aku jadi rindu saat-saat mesra dulu, tapi aku merasa
segan untuk meminta mas Dodo tinggal sebentar. Aku takut dia tidak
menyisakan waktunya untukku. Tak apalah, karena aku juga disibukkan
dengan mengajar bacatulis di kelas adik-adik yang lebih kecil. Menurut
para pengajar, aku cepat tanggap dan cerdas, makanya kadang aku
dijadikan asisten mereka, meski baru mengajar mengeja huruf. Mas Dodopun
benar-benar menghilang. Kata salah satu temannya, dia sudah lulus
kuliah dan pindah mengurusi cabang di luar Jawa.
Namun, aku hamil
saat sekertariat sedang sibuk mengadakan ujian setara SD. Keadaan yang
tak pernah kutahu kenapa, bagaimana, dan apa?yang kurasakan hanya, aku
sering marah atau menangis tanpa sebab. Dan sudah dua bulan tak keluar
darah haid. Perutku lama-lama kurasakan makin gemuk meski aku susah
makan. Bingung, aku tanya mbak Heni, pengajar anak-anak yang paling
ramah padaku di sekertariat. Dia terkejut bukan kepalang, setelah
meminta air pipisku dalam ceruk yang katanya untuk mengetes kesehatanku.
**
Besoknya
ada berbagai rapat dalam pintu tertutup. Aku didekati seorang psikolog
yang berhasil membuatku bercerita sampai menangis, setelah mas Dodo.
Namanya Bu Nina, orangnya lembut dan hangat, jika ditilik dari usianya,
mungkin seusia ibuku jika ibu masih hidup. Beliau selalu memelukku dan
berkata hal-hal yang manis padaku.
“Sayang, tabah ya nak. Fase
menjadi ibu, pasti akan dialami seorang perempuan yang mempunyai rahim
di tubuhnya. Itu lah sebenar-benar kodrat kita, tapi menjadi ibu juga
merupakan pilihan setiap perempuan yang memiliki hak atas tubuhnya. Anak
mengerti? Bahwa anak mempunyai hak untuk memilih?”, ujarnya dengan
memegang tanganku yang mungil.
“Iya bu, saya mengerti. Dan saya akan memilih menjadi ibu, meskipun tanpa suami”, ujarku yakin.
Aku
memang sakit hati pada mas Dodo, bukan karena aku ingin dia nikahi.
Tapi karena telah dia tinggalkan, disaat aku butuh satu-satunya orang
yang kusayang dan kupercaya saat ini. Bagaimanapun, bayang-bayang
ketidaksiapan menjadi ibu yang dulu membuat ibuku tak pernah mencintai
aku, selalu terekam dalam benak dan meneror malam-malamku dengan mimpi
buruk.
Aku tidak ingin menjadi ibu yang seperti itu!! Teriakku
dalam hati. Aku ingin mencintai jabang bayi ini, darah dagingku sendiri.
Yang adalah juga anak dari seorang lelaki yang aku kenal dan aku
cintai. Aku yakin aku sanggup menyayangi dan merawatnya, karena aku tahu
rasanya menjadi anak yang terbuang dan tak disayang..
Dua bulan kemudian
Setelah
beberapa kaunseling diadakan untuk membuatku merasa baik dan nyaman,
ada petugas dinas sosial yang menjemput dan memindahkanku ke panti untuk
lebih menunjang hidupku beserta perawatan atas kehamilanku. Setelah
mengikuti acara perpisahan ala kadarnya, akupun berangkat meninggalkan
teman-teman yang pernah hidup dan berdinamika denganku. Ada rasa sedih
meninggalkan mereka yang sudah bertahun-tahun mengalami susah payah
denganku bersama-sama. Tapi, mungkin jalan hidup kami memang berbeda.
Sekarang
agak lega rasanya, karena banyak yang membantu meski aku harus
beradaptasi cukup lama di panti. Mas Dodo pun sudah berangsur-angsur
kulupakan. Biarlah, aku yakin suatu hari dia akan bertaubat, seperti
pendapatnya dulu tentang seorang pemerkosa. Yang setelah menyesali
perbuatannya, akan berharap tak ada balas dendam si korban untuknya.
Laki-laki pengecut! Hilang sudah rasa hormatku padanya, hanya perasaan
sayang yang masih sulit aku musnahkan semua.
Yang terpenting
sekarang, Nem ini -dengan tambahan nama Sari atau tidak di depannya-,
tetaplah sebuah putik yang akan menjelma bunga. Bukan setangkai bunga
yang ada di pikiran atau harapan mas Dodo, sebagaimana bunga-bunga yang
kata mereka akan layu setelah sarinya habis dihisap kumbang, dan hidup
dalam pot yang indah? Bukan! Aku adalah perempuan yang kuat dan
mempunyai mimpi maupun harapan-harapanku sendiri. Meski jalan hidupku
susah dan terjal, semua akan aku hadapi dengan tegar. Aku, Nem, bukan
setangkai bunga. Namun, percikan bunga api.
*nama hanya rekaan__2007
*Untuk perempuan kaum miskin kota, berjuang lepas dari kemiskinan adalah harapan demi keniscayaan.
Istilah dalam bahasa Jawa
Bagor : Sejenis karung dari bahan goni
Mbrojol : Keluar dengan tidak sengaja, tanpa disangka
Melek : Mata yang terbuka
Tetek-bengek : Semua hal atau permasalahan
Ndeso :(adjektif) Berhubungan dengan desa terpencil.
“wah, guedhene rek omahe!” : wah, besarnya rumahnya!
“iyo je, eh ndes ono dolanane barang!”: iya, eh ndes (sebutan) ada mainannya pula!
Klothak-klothak : Suara benda terguncang-guncang. Biasanya terbuat dari kayu.
Mudheng : Paham, mengerti.
Post a Comment