Headlines News :
Home » , , » Menyusun Pecahan Langit [M. Taufan Malaka]

Menyusun Pecahan Langit [M. Taufan Malaka]

Written By sastra on Thursday, August 30, 2012 | 10:13:00 AM

I. Sebuah Sore

Inilah sore yang membahagiakan ketika berkumpul, menyukuri hidup dan menangisi kenyataan. Pilihan manusia berbeda, lazimnya mengikuti kenginan diri atau kata hati untuk bahagia diri. Namun bagaimana dengan bahagia orang lain. Rasanya soal ini hanya dijawab oleh Sosialisme Intelektual dalam diam atau teriakan,” ungkapnya Bung Syahrir lirih.

Hari ini semua manusia tak satu pun yang melupakan prinsip hidupnya. Jika semua manusia meramahkan prinsip kebersamaannya dari remeh hingga soal hidup mati, mungkin itu sangat bagus dan sejalan dengan perintah Tuhan untuk berbagi dengan semua makhlukNya tanpa pandang identitas. Faktanya, manusia enggan mendialogkan prinsip hidupnya sebab tak tahu memulai, saling mencurigai, dan berprasangka berujung konflik fatal. Etos seperti ini yang mungkin menjadi doktrinal dan antikritik.

Apakah benar prinsip-prinsip hidup itu bertentangan dan tak punya irisan narasi. Kalau bertentangan, di mana letaknya dan bagaimana menyikapinya. Demikian pula, jika punya titik persamaan, di mana posisinya dan bagaimana melakukannya. Namun rasanya pertanyaan ini tak pernah muncul sebab setiap manusia secara apriori pesimis dengan manusia lain ketika berada dalam kondisi fatal merespon perbedaan gaya pemikiran. Boleh jadi pengalaman hidup mengecewakan setiap manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain lah yang menjadi preseden buruk pesimisme ini.

Hidup memang butuh seni keberanian dan kejujuran agar maksud baik tercapai terhadap orang lain. Semisal membincangkan Kapitalisme yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan budaya. Setiap manusia berbeda dalam merespon ide kapitalisme. Ada yang merasa baik-baik saja, namun ada pula yang langsung mengacungkan tangan kiri seraya menawarkan Sosialisme. Ini lah hidup, tempat kita berbeda dan menemukan konsensus dan konsistensi subjektif.

II. Ruang dan Waktu
Ruang dan waktu memastikan dimensi kemanusiaan, dan kemanusiaan siapa pun di bumi ini dibangun di atas puing-puing ruang dan waktu. Letak masalahnya hanyalah kenaifan manusia melengkapi dan mencapai titik kemanusiaannya di setiap sudut dan fragmen kemanusiaan. Kutukan yang tak pernah selesai dan membuat siapa pun merasakan kesakitan di jiwa.

Apakah manusia tak pernah naif. Saya rasa hanya politisi lah yang selalu merasa benar, namun ketika jujur, mereka adalah manusia yang paling naif.

III. Nalar Kegundahan

Ini awalnya. Pandangan Sufisme atau Irfan atau Tasawwuf atau dan Filsafat Islam yang menjadi pijakan reflektif dalam melahirkan manusia sejati (insan kamil) yaitu para Al-Arif Billah (Manusia paripurna yang memiliki kesempurnaan pengetahuan tentang Tuhan) meyakini bahwa ada Ketunggalan dalam keragaman semesta. Misal Ibnu Araby yang masyhur sebagai Syaikhul Akbar (Pemuka Para Syaikh) menyatakan bahwa setiap entitas dari realitas adalah manifestasi atau teofani atau penjelmaan dari Tuhan, yang manusia bertakwa dan berihsan menyebutnya dalam hati yang tergetar sebagai Allah. Sehingga ketika seorang berTuhan memandang sebuah objek realitas maka yang terlihat hanya Allah.

Manusia adalah ciptaanNya dan ciptaanNya adalah wujudNya. Apalagi manusia yang diwakili oleh simbolisasi Adam menurut sebuah hadist Qudsi diciptakan dalam citra Tuhan. Maka manusia satu tak berbeda dari manusia lain sebagai citra Tuhan yang agung. Ini lah nalar awal mengapa kita harus berdialog dengan sesama manusia. Sebab kita sama secara potensial.

Bagaimana cara berdialog dengan sesama manusia bernalar. Jurgen Habemas sebagai pionir mazhab komunikasi kritis menyarankan manusia menciptakan ruang publik. Sebuah ruang di mana manusia memanfaatkan waktunya untuk berkomunikasi dari hati ke hati menuju masyarakat komunikatif. Ia mengandaikan dua kondisi. Pertama, Ruang publik manusia menghormati prinsip-prinsip Kebenaran dan Keadilan Universal. Kedua, ada kesetaraan dan kebebasan yang hakiki. Dalam prasyarat ini lah rasionalitas substantif tercapai

IV. Babak kehancuran dan  kebebasan manusia

Saya teringat almarhum Gus Dur, “Islam tak perlu dibela sebab Ia sejati dan wajah realitas.” Kata hati Gus Dur berbeda dengan kenyataan keberagamaan kita di Indonesia hari ini yang sangat politis. Akhirnya Kompol Dodi menjadi korban bungkusan kemarahan dan kelemahan nalar beragama. Bukankah indah akhlak Rasululullah, bukankah menarik ide islamisasi sains Naguib Alattas, Gerakan Ganda Fazlur Rahman, Dekonstruksi Arkoun dan Kritik Nalar Arab Abid Aljabiri dipandang dalam ruang dialog mencari Tuhan dan menguatkan Islam

Mungkin Islam harus dikembalikan dalam nalar ruhaninya sebagai puncak kesadaran bersama dan gerak alam semesta raya. Sebab tak satu pun atom di semesta ini yang bergerak tanpa izinNya. Islam itu satu namun wajahnya beragam dan berjalan menuju Tuhan Sejati, Allah yang Maha Rahman dan Rahim.

Hematnya, Islam adalah milik makhlukNya yang harus dihadirkan di hati umat manusia dengan prinsip kebenaran, keadilan dan perjuangan untuk menciptakan kebebasan hakiki sebagai buah dari kemerdekaan. Namun kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan di hadapan Tuhan sejati, Allah SWT yang meniscayakan manusia menjadi penyaksi, memahami nalar norma dan nilai masyarakat serta beretika secara universal.

Akhirnya, manusia lah yang menyusun peradabannya secara kreatif. Jalan sejarah manusia berada dalam ruang Pengetahuan Tuhan dan Hukum Alam. Kebebasan manusia dengan kerja akalnya memilih alternatif terbaik sesuai keinginan Tuhan dan HukumNya.



Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Media Seni dan Sastra Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger