I. Sebuah Sore
Inilah sore yang
membahagiakan ketika berkumpul, menyukuri hidup dan menangisi kenyataan.
Pilihan manusia berbeda, lazimnya mengikuti kenginan diri atau kata hati untuk
bahagia diri. Namun bagaimana dengan bahagia orang lain. Rasanya soal ini hanya
dijawab oleh Sosialisme Intelektual dalam diam atau teriakan,” ungkapnya Bung
Syahrir lirih.
Hari ini semua
manusia tak satu pun yang melupakan prinsip hidupnya. Jika semua manusia
meramahkan prinsip kebersamaannya dari remeh hingga soal hidup mati, mungkin
itu sangat bagus dan sejalan dengan perintah Tuhan untuk berbagi dengan semua
makhlukNya tanpa pandang identitas. Faktanya, manusia enggan mendialogkan
prinsip hidupnya sebab tak tahu memulai, saling mencurigai, dan berprasangka
berujung konflik fatal. Etos seperti ini yang mungkin menjadi doktrinal dan
antikritik.
Apakah benar prinsip-prinsip
hidup itu bertentangan dan tak punya irisan narasi. Kalau bertentangan, di mana
letaknya dan bagaimana menyikapinya. Demikian pula, jika punya titik persamaan,
di mana posisinya dan bagaimana melakukannya. Namun rasanya pertanyaan ini tak
pernah muncul sebab setiap manusia secara apriori pesimis dengan manusia lain
ketika berada dalam kondisi fatal merespon perbedaan gaya pemikiran. Boleh jadi
pengalaman hidup mengecewakan setiap manusia dalam berinteraksi dengan manusia
lain lah yang menjadi preseden buruk pesimisme ini.
Hidup memang butuh
seni keberanian dan kejujuran agar maksud baik tercapai terhadap orang lain.
Semisal membincangkan Kapitalisme yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan
budaya. Setiap manusia berbeda dalam merespon ide kapitalisme. Ada yang merasa
baik-baik saja, namun ada pula yang langsung mengacungkan tangan kiri seraya
menawarkan Sosialisme. Ini lah hidup, tempat kita berbeda dan menemukan
konsensus dan konsistensi subjektif.
II. Ruang dan Waktu
Ruang dan waktu
memastikan dimensi kemanusiaan, dan kemanusiaan siapa pun di bumi ini dibangun
di atas puing-puing ruang dan waktu. Letak masalahnya hanyalah kenaifan manusia
melengkapi dan mencapai titik kemanusiaannya di setiap sudut dan fragmen
kemanusiaan. Kutukan yang tak pernah selesai dan membuat siapa pun merasakan
kesakitan di jiwa.
Apakah manusia tak
pernah naif. Saya rasa hanya politisi lah yang selalu merasa benar, namun
ketika jujur, mereka adalah manusia yang paling naif.
III. Nalar Kegundahan
Ini awalnya.
Pandangan Sufisme atau Irfan atau Tasawwuf atau dan Filsafat Islam yang menjadi
pijakan reflektif dalam melahirkan manusia sejati (insan kamil) yaitu para
Al-Arif Billah (Manusia paripurna yang memiliki kesempurnaan pengetahuan
tentang Tuhan) meyakini bahwa ada Ketunggalan dalam keragaman semesta. Misal
Ibnu Araby yang masyhur sebagai Syaikhul Akbar (Pemuka Para Syaikh) menyatakan
bahwa setiap entitas dari realitas adalah manifestasi atau teofani atau
penjelmaan dari Tuhan, yang manusia bertakwa dan berihsan menyebutnya dalam
hati yang tergetar sebagai Allah. Sehingga ketika seorang berTuhan memandang
sebuah objek realitas maka yang terlihat hanya Allah.
Manusia adalah
ciptaanNya dan ciptaanNya adalah wujudNya. Apalagi manusia yang diwakili oleh
simbolisasi Adam menurut sebuah hadist Qudsi diciptakan dalam citra Tuhan. Maka
manusia satu tak berbeda dari manusia lain sebagai citra Tuhan yang agung. Ini
lah nalar awal mengapa kita harus berdialog dengan sesama manusia. Sebab kita
sama secara potensial.
Bagaimana cara
berdialog dengan sesama manusia bernalar. Jurgen Habemas sebagai pionir mazhab
komunikasi kritis menyarankan manusia menciptakan ruang publik. Sebuah ruang di
mana manusia memanfaatkan waktunya untuk berkomunikasi dari hati ke hati menuju
masyarakat komunikatif. Ia mengandaikan dua kondisi. Pertama, Ruang publik
manusia menghormati prinsip-prinsip Kebenaran dan Keadilan Universal. Kedua,
ada kesetaraan dan kebebasan yang hakiki. Dalam prasyarat ini lah rasionalitas
substantif tercapai
IV. Babak kehancuran dan kebebasan manusia
Saya teringat
almarhum Gus Dur, “Islam tak perlu dibela sebab Ia sejati dan wajah realitas.”
Kata hati Gus Dur berbeda dengan kenyataan keberagamaan kita di Indonesia hari
ini yang sangat politis. Akhirnya Kompol Dodi menjadi korban bungkusan
kemarahan dan kelemahan nalar beragama. Bukankah indah akhlak Rasululullah,
bukankah menarik ide islamisasi sains Naguib Alattas, Gerakan Ganda Fazlur
Rahman, Dekonstruksi Arkoun dan Kritik Nalar Arab Abid Aljabiri dipandang dalam
ruang dialog mencari Tuhan dan menguatkan Islam
Mungkin Islam harus
dikembalikan dalam nalar ruhaninya sebagai puncak kesadaran bersama dan gerak
alam semesta raya. Sebab tak satu pun atom di semesta ini yang bergerak tanpa
izinNya. Islam itu satu namun wajahnya beragam dan berjalan menuju Tuhan
Sejati, Allah yang Maha Rahman dan Rahim.
Hematnya, Islam
adalah milik makhlukNya yang harus dihadirkan di hati umat manusia dengan
prinsip kebenaran, keadilan dan perjuangan untuk menciptakan kebebasan hakiki
sebagai buah dari kemerdekaan. Namun kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan di
hadapan Tuhan sejati, Allah SWT yang meniscayakan manusia menjadi penyaksi,
memahami nalar norma dan nilai masyarakat serta beretika secara universal.
Akhirnya, manusia
lah yang menyusun peradabannya secara kreatif. Jalan sejarah manusia berada
dalam ruang Pengetahuan Tuhan dan Hukum Alam. Kebebasan manusia dengan kerja
akalnya memilih alternatif terbaik sesuai keinginan Tuhan dan HukumNya.
Post a Comment