Virgiawan Listanto atau yang lebih dikenal Iwan Fals lahir pada tanggal 3
September 1961 di Jakarta adalah seorang penyanyi beraliran balada yang menjadi
salah satu legenda hidup di Indonesia. Lewat lagu-lagunya, Iwan menggambarkan
suasana sosial kehidupan Indonesia (terutama Jakarta) di akhir tahun 1970-an
hingga sekarang. Kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti lagu Wakil
Rakyat dan Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya lagu Siang
Seberang Istana dan Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau
kadang-kadang di luar Indonesia, seperti lagu Ethiopia) mendominasi tema
lagu-lagu yang dibawakannya.
Namun Iwan Fals yang dahulu sering menembak realitas sosial yang banyak
terjadi di Indonesia mulai mengalami perubahan lirik dan syair saat ini.
Kekecewaan mulai mengemuka dari banyak penggemar legenda hidup musik Indonesia
ini menyimak beberapa album belakangan. Bang Iwan tidak segarang dulu
mempertanyakan realita sosial dari kacamata minoritas dalam hubungannya dengan
kekuasaan yang tamak. Dalam kumpulan karyanya tahun ini, langkah tepat mungkin
diambil untuk meminimalisir reaksi fans-nya yang makin cemberut. “Keseimbangan”
title albumnya yang terbaru diluncurkan secara independen di bawah bendera Fals
Record.
Harapannya
tidak akan ada lagi kompromi-kompromi yang harus dituruti dalam rangka kontrak.
Iwan Fals
yang
seolah-olah meremaja dengan lagu cinta-cintaan dapat dihindari. Keinginan itu
tampak terwujud dari daftar lagu yang muncul. Deretan tema tentang hidup, Tuhan
dan lingkungan mendominasi. Menarik menemukan Iwan Fals dahulu dengan
dagelan satirnya tentang tokoh penguasa kini mendukung oknum yang berdedikasi
seperti dalam “Jendral Tua”.
Intinya, Bang Iwan kali ini lebih nyata mengedepankan solusi untuk
kebaikan daripada sekedar luapan kegelisahan seperti tembang cinta lingkungan “Hutanku”,
“Pohon untuk Kehidupan” dan “Tanam Siram Tanam”. Bukan berarti
lagu-lagunya selama ini tidak memberikan solusi, namun sentilan terhadap mereka
yang seharusnya bertanggung jawab sedianya semakin dihiraukan membuatnya lelah
berujar marah. Tengok saja karya-karya klasik Bang Iwan yang sampai detik ini
masih relevan tidak menyentuh perasaan para penguasa. Kita mesti angkat topi
atas usaha konkrit yang dilakukannya setiap gelaran konser dengan aksi tanam
pohon, Go Blue dan reservasi lainnya.
Beberapa lirik digarap orang lain seperti Subur Raharja (Suhu), H.MS
Kaban (Hutanku), Muh Ma'mun (Pohon untuk Kehidupan), KH. Mustofa
Bisri (Aku Menyayangimu) dan Endang Moerdopo (Malahayati). Sulit
mungkin menemukan aransemen nakal (menilik “Sepak Bola” dan “Kuda
Coklatku” yang terdengar garing) dan provokatif layaknya yang terdahulu.
Selain faktor umur, mungkin Iwan-Iwan baru memang sudah semestinya mengambil
tongkat estafet.
Post a Comment