Headlines News :
Home » , , » Tuhan Telah Tiada [Reski Kuantan]

Tuhan Telah Tiada [Reski Kuantan]

Written By sastra on Wednesday, September 05, 2012 | 4:36:00 PM


Oleh: Reski kuantan

Jam di handphone saya hampir menunjukan pukul 18.15,  ketika itu hujan lebat. Di sebuah halte, bersesakkan dengan peteduh lain dan seseorang yang saya lupa bagaimana bentuk badan dan wajahnya. Seseorang itu, ia berdiri paling sudut, di kanan dari saya, melihat jauh ke arah langit, kemudian sesekali ia menunduk sembari terus terisak dan air terus mengalir dari matanya yang bening dan basah.
Saya lalu memperhatikan orang-orang di sekitar, semua gusar menunggu hujan reda dan raut-raut wajah mereka jelas kian gundah. Tak seorangpun memperhatikan seseorang yang terisak di sudut sana, kecuali saya. Mulai pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaran bermunculan dalam pikiran saya. Kenapa atau siapa ia? Misalnya.
Tak cukup berpikir lama, saya mendekati seseorang tersebut dan memilih untuk berdiri tepat di sampingnya dan melihat ke arah yang sama denganya. Ia sebentar melirik ke arah saya lalu kembali melihat langit.
“Tuhan telah tiada”
Samar-samar, seperti berbisik dan serak, ia bicara, entah pada siapa.
“Tuhan telah tiada”
Ia kembali bicara, lebih lantang namun tetap serak, sembari  melirik ke arah saya sebelum kemudian ia kembali melihat langit.
Saya lalu memberanikan diri menatap orang tersebut,  saya lupa bagaimana bentuk badan dan wajahnya, tapi matanya benar-benar bening, dan basah.
“Tuhan telah tiada”
 Kali ini ia bicara sembari benar-benar menatap saya, menatap mata saya. Matanya yang benar-benar bening dan basah seolah-olah hendak menerkam atau mungkin seperti hendak mencabik-cabik mata saya. Tiba-tiba perasaan saya menjadi campur aduk, iba, bingung, atau mungkin takut, atau juga mungkin saya tidak bisa  jelaskan secara detail bagaimana perasaan yang saya alami ketika itu.
Sejenak kemudian ia sangat diam sembari masih menatap mata saya sebelum kemudian kembali manatap langit.
“Lihat, itu bukan hujan, itu bukan hujan” Ia kembali bicara, samar-samar dan serak “Tapi malaikat, malaikat-malaikat di atas sana sedang berduka”. Kemudian ia kembali terdiam “Lihat, itu bukan hujan, itu bukan hujan, itu air mata duka malaikat-malaikat di atas sana, itu air mata duka. Tuhan telah tiada. Tuhan telah tiada”. Sambungnya.
Ingin rasanya saya memeluk seseorang itu, memeluk dengan erat. Tapi siapa orang ini?
“Saya bukan orang gila” katanya sembari kembali menatap tajam ke arah saya, ia seolah bisa membaca pertanyaan-pertanyaan dalam hati dan pikiran saya.
“Saya malaikat” lalu katanya “dan Tuhan telah tiada. Tuhan telah tiada”
Lalu, sejenak kembali ia terdiam dan matanya yang benar-benar bening dan basah, ah, gila, entah kenapa saya malah seperti terpengaruh dengan seseorang itu, sebelum kemudian ia kembali bicara.
“Lihat, lihat orang-orang, lihat orang-orang” suaranya begitu gemetar dan tertahan “orang-orang telah punya tuhan-tuhan baru, mereka menciptakan tuhan-tuhannya sendiri, tuhannya adalah televisi, gengsi, teknologi, uang, jabatan, kekuasaan, pekerjaan, makan, pusat perbelanjaan dan mungkin juga tulisan-tulisan, cerpen atau puisi” dan kembali menatap mata saya, sangat lekat.
Tiba-tiba kemudian saya merasa sangat dingin, basah dan, dan, dan sangat kotor. Sebuah bus kota melintas dengan kencang dan mengguyurkan air yang tergenang di pinggir jalan ke arah saya. Dalam hati saya menggerutu, mungkin kebiasaan ngelamun dan berkhayal saya yang akut sudah saatnya dibasmi. Hujan telah sejak lama kiranya reda dan bus itu adalah bus terakhir arah ke rumah, terpaksa deh saya naik ojek dan mahal!



Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Media Seni dan Sastra Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger