Oleh: Reski kuantan
Jam di handphone saya
hampir menunjukan pukul 18.15, ketika
itu hujan lebat. Di sebuah halte, bersesakkan dengan peteduh lain dan seseorang
yang saya lupa bagaimana bentuk badan dan wajahnya. Seseorang itu, ia berdiri
paling sudut, di kanan dari saya, melihat jauh ke arah langit, kemudian
sesekali ia menunduk sembari terus terisak dan air terus mengalir dari matanya
yang bening dan basah.
Saya lalu
memperhatikan orang-orang di sekitar, semua gusar menunggu hujan reda dan
raut-raut wajah mereka jelas kian gundah. Tak seorangpun memperhatikan seseorang
yang terisak di sudut sana, kecuali saya. Mulai pertanyaan-pertanyaan dan rasa
penasaran bermunculan dalam pikiran saya. Kenapa atau siapa ia? Misalnya.
Tak cukup berpikir
lama, saya mendekati seseorang tersebut dan memilih untuk berdiri tepat di
sampingnya dan melihat ke arah yang sama denganya. Ia sebentar melirik ke arah
saya lalu kembali melihat langit.
“Tuhan telah tiada”
Samar-samar, seperti
berbisik dan serak, ia bicara, entah pada siapa.
“Tuhan telah tiada”
Ia kembali bicara,
lebih lantang namun tetap serak, sembari melirik ke arah saya sebelum kemudian ia kembali
melihat langit.
Saya lalu memberanikan
diri menatap orang tersebut, saya lupa
bagaimana bentuk badan dan wajahnya, tapi matanya benar-benar bening, dan
basah.
“Tuhan telah tiada”
Kali ini ia bicara sembari benar-benar menatap
saya, menatap mata saya. Matanya yang benar-benar bening dan basah seolah-olah
hendak menerkam atau mungkin seperti hendak mencabik-cabik mata saya. Tiba-tiba
perasaan saya menjadi campur aduk, iba, bingung, atau mungkin takut, atau juga
mungkin saya tidak bisa jelaskan secara
detail bagaimana perasaan yang saya alami ketika itu.
Sejenak kemudian ia
sangat diam sembari masih menatap mata saya sebelum kemudian kembali manatap
langit.
“Lihat, itu bukan
hujan, itu bukan hujan” Ia kembali bicara, samar-samar dan serak “Tapi malaikat,
malaikat-malaikat di atas sana sedang berduka”. Kemudian ia kembali terdiam “Lihat,
itu bukan hujan, itu bukan hujan, itu air mata duka malaikat-malaikat di atas
sana, itu air mata duka. Tuhan telah tiada. Tuhan telah tiada”. Sambungnya.
Ingin rasanya saya
memeluk seseorang itu, memeluk dengan erat. Tapi siapa orang ini?
“Saya bukan orang
gila” katanya sembari kembali menatap tajam ke arah saya, ia seolah bisa
membaca pertanyaan-pertanyaan dalam hati dan pikiran saya.
“Saya malaikat” lalu
katanya “dan Tuhan telah tiada. Tuhan telah tiada”
Lalu, sejenak kembali
ia terdiam dan matanya yang benar-benar bening dan basah, ah, gila, entah
kenapa saya malah seperti terpengaruh dengan seseorang itu, sebelum kemudian ia
kembali bicara.
“Lihat, lihat orang-orang,
lihat orang-orang” suaranya begitu gemetar dan tertahan “orang-orang telah
punya tuhan-tuhan baru, mereka menciptakan tuhan-tuhannya sendiri, tuhannya
adalah televisi, gengsi, teknologi, uang, jabatan, kekuasaan, pekerjaan, makan,
pusat perbelanjaan dan mungkin juga tulisan-tulisan, cerpen atau puisi” dan
kembali menatap mata saya, sangat lekat.
Tiba-tiba kemudian
saya merasa sangat dingin, basah dan, dan, dan sangat kotor. Sebuah bus kota melintas
dengan kencang dan mengguyurkan air yang tergenang di pinggir jalan ke arah
saya. Dalam hati saya menggerutu, mungkin kebiasaan ngelamun dan berkhayal saya
yang akut sudah saatnya dibasmi. Hujan telah sejak lama kiranya reda dan bus
itu adalah bus terakhir arah ke rumah, terpaksa deh saya naik ojek dan mahal!
Post a Comment